Minggu, 20 Februari 2011

abdul qodir

S O S O K
SYAIKH ABDUL QADIR AL JAILANI

oleh: Asrifin An Nakhrawi
Waktu itu awal bulan suci, tepatnya tanggal satu Ra madhan 471 Hijriyah. Sebuah desa kecil, yang sebelumnya nam pak begitu damai dan tenang mendadak terkesimak, berubah kea daan menjadi gaduh dan ramai. Berbagai kegiatan serasa ter henti; di sana-sini banyak orang membicarakan kejadian yang aneh, langkah dan baru kali itu terjadi sepanjang sejarah. Sua sana desa menjadi gempar, dihebohkan oleh kabar seorang bayi kecil yang baru lahir. Sungguh aneh!. Banyak orang bing  ung dibuatnya. Seorang tabib yang biasa menangani masalah bayi itupun seperti menggeleng, tak sanggup memecahkan masalah ini. Apakah gerangan yang terjadi dengan bayi itu?.
Seorang bayi telah terlahir dari rahim seorang ibu. Ti dak seperti bayi-bayi lain, bayi kali  ini dinilai begitu aneh, se bab dia tidak mau menetek ibunya di siang hari. Biasanya bayi tak bertingkah seperti itu. Bayi biasanya akan menyusu ibunya dengan sendirinya pada saat dia lapar dan haus. Tapi bayi satu ini tidak demikin!. Tentu hal demikian dinilai aneh. Dan satu hal yang membuat gempar adalah, saat fajar awal bulan Rama dhan mulai muncul, di saat gema adzan subuh berkumandang seketika itu bayi tersebut berhenti dan tidak mau menetek ibu nya. Keluarga dan semua orang yang melihatnya bingung dan menaruh kasihan pada bayi tersebut. Banyak yang mencoba me nyuguhkan berbagai hidangan, mainan dan apa saja dengan di sertai segenap bujuk rayu. Tujuannya supaya bayi itu terdiam dari tangisnya dan mau menyusu ibunya. Tetapi bayi itu tho, tetap saja. Dia terus menangis dan menangis dengan selalu mem bungkam mulut nya dari sesuatu.
Namun aneh!. Saat hari menjelang maghrib –diantara harapan dan rasa khuatir yang mencekam—matahari berlahan mu lai bersembunyi di balik tabirnya. Tibalah saatnya seorang mu’adzin mengumandangkan adzan maghrib, pertanda saat ber buka tiba bagi hamba-hamba Allah yang dengan ihlas melak sanakan kewajiban puasa. Dengan serta merta seorang bayi yang sejak tadi bungkam dengan segala makanan itu pun lalu meng hadap tetek ibunya, dan langsung menghisap air susunya. Ada lah suatu kelangkaan, seorang bayi berlaku seperti itu; ikut puasa dan ikut berbuka bersama-sama. Ada apakah gerangan?. Siapakah sebenarnya bayi tersebut?. Keanehan apakah yang dimi likinya hingga sejak usia bayi dia sudah ikut berpuasa layaknya orang dewasa?.
Dengan keanehan tersebut banyak orang melihat dan menyikapi kejadian itu dari perspektif mereka masing-masing  yang berbeda-beda. Sebagian orang tua ada yang mengatakan bahwa bayi tersebut telah kerasukan jin. Sebagian mereka pun sampai ada yang mengusahakan penyembuhannya dengan jimat-jimat dan mantra-mantra untuk mengusir makhluk halus yang merasuk pada bayi tersebut. Namun apapun usaha yang telah di lakukan ternyata sia-sia. Bayi itu tetap saja seperti semula, ter us menangis; siang tidak mau makan dan tidak mau menyusu ibu nya. Lalu tangis itupun redah dengan sendirinya pada saat adzan maghrib telah terdengar, sebab hanya pada saat itu sang bayi baru mau menyusu ibunya.
Sebagian orang pun ada yang menyikapi keanehan itu dari sudut pandang yang lain. Mereka ada yang mengatakan bahwa, tidak ada penyebab khusus yang menjadikan bayi itu menolak makan di waktu siang pada bulan Ramadhan ini, kecu ali hal tersebut merupakan satu petunjuk dan pertanda kewalian yang langsung dianugerahkan oleh Allah. Namun dengan predik si ini tidak semua orang yang merasa aneh itu bisa menerima. Banyak orang masih penasaran dan selalu bertanya-tanya ten tang kejanggalan itu. Maka muncullah berbagai pendapat yang beraneka ragam. Dan sepertinya pembahasan mereka tentang bayi itu tidak ada henti-hentinya, sampai mereka tahu bahwa keanehan yang terjadi pada diri bayi tersebut adalah benar-benar merupakan satu karamah yang diturunkan oleh Allah. Bukankah Allah Maha Kuasa atas segala apa yang telah dan akan terjadi?.
Bagaikan keganjilan yang pernah terjadi pada kelahiran nabi Isa yang langsung bisa berbicara, demikian halnya dengan keganjilan yang terjadi pada bayi yang selanjutnya dikenal de ngan nama Abdul Qadir Al Jailani ini. Demikianlah, selama hi dup wali satu ini memang terkesan aneh. Bukan saja pada pri laku hidupnya yang selalu meninggalkan kemisteriusan, namun sejak bayi dia telah membuat keanehan.
Ramadhan telah berlalu. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Seorang bayi kecil Al Jailani yang misterius yang lahir di Jil, kota Karkuk di negeri Irak itupun berkembang menjadi besar, akan tetapi tetap saja membawa ketidak-mengertian banyak orang. Dia hidup di dunia nya yang khusus yang mempunyai batas dan tata krama tersen diri. Dikatakan khusus, sebab kehidupan yang dijalani oleh Al Jailani itu tidak sebagaimana layaknya yang dijalani oleh keba nyak orang. Orang-orang menilai bahwa tingkah dan gaya hidup Al Jailani begitu nyeleneh. Dia senang menyendiri, lari dari ke hidupan dan komonitas banyak orang. Wajahnya begitu nampak penuh keanehan; masam dan selalu tersenyum dengan sejuta ra hasia yang tidak dapat dipecahkan oleh orang lain.
Abdul Qadir Al Jailani adalah keturunan seorang ula ma’ besar. Untuk pendidikannya, sang ayah menyerahkan anak ini kepada seorang ahli fiqih yang berbudi luhur. Pada sang guru inilah Al Jailani banyak mempelajari ilmu-ilmu agama. Dalam kitab Manaqib Al Lujaini Al Dani yang mengisahkan tentang biografi Abdul Qadir Al Jailani disebutkan bahwa, se masa mendekati usia baliqh Al Jailani belajar berbagai ilmu penge tahuan dengan giat. Dia pernah belajar ilmu fiqih kepada Khattab Al Kalwadhani Mahfudz bin Ahmad Jalil dan kepada Abil Khu sain Muhammad bin Al Qadhi Abi Ya’la, dan seba gainya. Dan tanpa disadari oleh siapapun, ternyata Al Jailani mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Dia mempunyai kema hiran khus usnya, yakni dalam hal ilmu kehidupan, bahkan dia telah sang gup melumpuhkan banyak pakar dalam bidang ini. Tetapi, siapa saja juga tak menyangka ternyata dengan tiba-tiba Al Jailani melipat dan meninggalkan begitu saja ilmu dan pen didikannya itu.
Ada sesuatu yang tidak dapat dimengerti oleh Al Jai lani. Sesuatu tersebut selalu mengganjal dalam hatinya, dimana dia tidak tahu apa permasalahannya sekaligus bagaimana jawa bannya. Al Jailani bingung, gelisah, dan cemas. Namun aneh, dia sendiri tidak tahu mengapa hal itu dapat terjadi dalam dirinya. Lama dirasakan kebingungan itu hingga yang terasa dia seperti terkoyak, tergores dan tercekik. Batok kepalanya serasa ingin pecah. Al Jailani ingin menjerit, meronta dan berontak. Namun mengapa dan kepada siapa?.
Al Jailani merasakan bahwa kebingungan, kecemasan dan kegelisahan yang ada dalam hatinya seperti sebuah perang yang tengah berkecamuk dalam jiwanya, antara dia dengan diri nya sendiri. Sikap seperti inilah yang menjadikan Al Jailani lebih senang menyendiri. Dia lebih memilih untuk diam tak berbicara sebab dia merasa bahwa pembicaraannya tak akan bisa meredam peperangan yang sedang berkecamuk itu. Atas dasar inilah barang kali tingkah Al Jailani menjadi aneh sekaligus dinilai nyeleneh baik oleh keluarganya juga oleh banyak orang. Pandangan matanya seperti hampa, kosong kala menatap langit. Apakah yang dilihat di atas sana?.
Sebagaimana layaknya para wali lain –dalam kisah per jalanan spiritual Al Ghazali, misalnya--, perjalanan spiritual Al Jailani juga didahului oleh suatu “panggilan ghaib” yang ber kecamuk dalam dirinya yang hingga pada titik akhir telah mem bimbing Al Jailani pada jalan mistisisme menuju Tuhan. Al Jailani menuturkan sendiri bagaimana dahsyatnya peperangan jiwanya itu hingga  akhirnya dia sadar bahwa untuk meredam pergolakan jiwa tersebut, jalan satu-satunya adalah dengan lari menuju Tuhan. Al Jailani berkata :
“Kekerasan telah melanda jiwaku, sampai aku mem bersihkan dan mematikannya. Aku tidak pernah meninggalkan kegundahan dan aku terus menunggangnya. Maka akupun memi lih berbaju shuf (baju para sufi). Aku berjalan di atas duri, dan kulalui hari-hariku dengan lapar. Terus menerus aku lakukan ke sungguhan dalam ibadah dan mencari rahasia hidup, sampai pa da akhirnya rahasia luhur itu menyentuh kalbuku”.
Berdasarkan penuturannya sendiri, ternyata jalan yang ditempuh oleh Al Jailani dalam meredam peperangan yang ada dalam jiwanya adalah jalur tasauf, yakni jalan yang ditempuh oleh para sufi. Hal ini barangkali mengingatkan kita pada kisah perjalanan spiritual imam Al Ghazali. Hampir sama dengan Al Jailani, imam Ghazali juga mempunyai permasalahan yang sama, yakni tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan batinnya sendiri yang ternyata tidak bisa dipecahkan oleh kemampuan akal yang dimilikinya. Dan sebagaimana kita tahu, bahwa jalan akhir yang dipilih oleh Al Ghazali adalah jalan  tasauf. Dia meyakini bah wa jalan inilah yang akan memberikan jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang selalu merisaukannya. Dan dengan telat yang bulat, Al Ghazali meninggalkan semua apa yang dia punya. Dia meninggalkan Baqdad yang telah memberikan nama harum sekaligus meninggalkan keluarganya untuk sementara waktu, pergi mengembara menjalani kehidupan sebagai seorang sufi.
Demikian perjalanan kehidupan sufi yang dijalani Al Ghazali yang ternyata mempunyai kemiripan dengan pengem baraan spiritual Abdul Qadir Al Jailani. Berdasarkan permas alahan yang hampir sama, Maka mulailah Al Jailani menjalani kehidupan seorang sufi. Dia meninggalkan rumah, pergi meny endiri untuk sebuah tujuan, yaitu mencari Tuhan, mencari ke hidupan hati, mencari terangnya cahaya serta mencari tempat kebahagiaan dan mencari tempat untuk dapat mengadukan semua isi hatinya kepada Tuhan.
Ada satu tempat yang paling dia sukai, yakni di tepi sahara, suatu tempat yang sepi dan sunyi, jauh dari keramaian dunia. Di tempat inilah dia selalu berpikir dan berdzikir, me renung, bersujud dan bernyanyi-nyanyi dengan tembang-temb ang rintihan dan tangis panjang. Di Tempat ini Al Jailani me numpahkan segala permasalahannya kepada Allah. Pengaduan panjangnya ia tumpahkan dalam jerit dan tangis yang berke panjangan. Dalam penuturannya sendiri, Al Jailani menjelaskan bagaimana dia menjalani hidup dalam kesendirian dan ketera singan di tepi sungai itu:
“Aku berdiam diri di tepi sahara di negeri Iraq selama 25 tahun, sendirian tanpa bekal apapun. Disana aku hanya beribadah. Aku tidak lagi tahu manusia, begitupun mereka tidak ada yang tahu dan tidak ada yang memperhatikanku…”.
Dalam kitab Manaqib Al Lujain Al Dani karya Sayyid Ja’far Hasan bin Abdul Karim Al Barzanzi juga dijelaskan bagaimana keadaan Al Jailani ketika menjalani kehidupan di tepi sahara itu:
“Pakaian yang dipakai oleh Al Jailani adalah sebuah jubah (shuf) dan kepalanya tertutup oleh sobekan kain. Dia ber jalan tanpa alas kaki, melalui tempat-tempat yang berduri dan di tanah-ranah yang terjal. Dia sengaja tidak memakai sendal. Ya ng dimakan oleh Al Jailani adalah buah-buahan yang masih ada di pohon, atau sayur yang sudah dibuang dan juga daun-daun maupun rerumputan. Namun kebanyakan Al Jailani  tidak makan juga tak banyak tidur. Pernah, suatu saat Al Jailani tidak makan berhari-hari. Tiba-tiba dia berjumpa dengan seseorang yang ke mudian dia memberikan sebuah kantong penuh berisi dengan uang dirham. Dengan uang itu, Al Jailani kemudian mengam bilnya sebagian untuk sekedar membeli tepung putih, jenang dari kurma dan samin. Al Jailani kemudian duduk untuk menik mati makanan itu. Namun dengan tiba-tiba ada sebuah kertas yang jatuh entah dari mana. Dalam kertas tersebut tertulis, ‘Syahwat itu dijadikan untuk hamba-hamba-Ku yang lemah, sebagai peran tara untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku yang kuat, tentu tidak akan mempunyai kesena ngan syahwat apapun’.
 Setelah membaca tulisan tersebut, seketika itu Al Jai lani meninggalkan makanan yang ada di tangannya lalu sece patnya dia melakukan shalat dua rakat. Atas kejadian itu Al Jai lani sadar bahwa ternyata dirinya dalam penjagaan Allah dan selalu dalam pertolongan-Nya”.
Begitulah model kehidupan yang dijalani oleh Abdul Qadir Al Jailani. Kesendirian, keterasingan dan kesengsaraan se cara fisik telah dia jalani selama 25 tahun, suatu masa yang tidak pendek apalagi untuk ukuran hidup dalam penderitaan. Namun apakah yang dirasakannya dalam kehidupan seperti itu?.
Kesendiri ternyata tidak membuat Al Jailani menjadi kesepian, bahkan dia merasakan bahwa dalam kesendirian dia punya teman. Inilah teman yang sesungguhnya. Itulah teman seba gai tempat mencurahkan segala gelisah dan tempat penga duan segala duka. Allah kemudian berkehendak lain. Dalam kesendi rian, Al Jailani lalu menemukan seorang teman. Pada mulanya dia tidak tahu dan tidak juga mengenalnya. Sampai akhirnya Al Jailani mengetahui bahwa seorang teman tersebut adalah Khidir,  seorang nabi yang konon sampai saat ini masih hidup dan selalu bertempat dipinggiran sungai, yang dulu pernah dijadikan sebagai guru oleh nabi Musa. Al Jailani menu turkan sendiri hal itu:
“…Di sana aku hanya beribadah. Aku tidak lagi tahu manusia, mereka pun tidak ada yang memperhatikanku, hingga akhirnya aku bertemu Khidir a.s. Dia selalu menemaniku sekali pun waktu itu aku tidak mengenalnya. Kami bersama-sama men jelajahi beragam ma’rifat sampai kemudian diriku lepas dari segala sesuatu. Lalu akupun mendapatkan ilham bahwa teman disampingku itu adalah nabi Khidir. Tak lama setelah itu, dia pun berkata, ‘…ini adalah perpisahan antara aku dan engkau. Hal-hal yang menunjukimu hari ini tidak lain adalah hati dan ilhammu. Engkau telah mendapatkan izin untuk kembali kepada manusia, untuk memimpin pengajaran dan petunjuk”.
Konon, sebagaimana yang disebutkan oleh Al Barzanzi dalam kitab Manaqibnya, proses perkenalan antara Al Jailani dengan nabi Khidir di sertai dengan suatu perjanjian. Khidir mengajukan sayarat yang tidak boleh dilanggar oleh Al Jailani. Jika syarat itu dilanggar, maka hal tersebut akan menyebabkan perpisahan antara dia dengan Khidir. Dengan persyaratan itu, Khidir berpesan kepada Al Jailani untuk berdiam diri, duduk di suatu tempat dan tidak boleh meninggalkannya sampai Khidir datang. Al Jailani pun memenuhi persyaratan itu. Tiga tahun dia berdiam diri sampai akhirnya Khidir datang menemuinya.
Begitulah, kehidupan mistis yang dijalani oleh al Jai lani. Dia meninggalkan kehidupan dunia untuk lari menuju pada kehidupan yang lebih hakiki. Dia tinggalkan kehidupan dhahir untuk menyelami kehidupan batin. Dan nyatanya kehidupan dari sisi hati telah membawanya kepada iman yang sempurna. Al Jailani menuturkan sendiri bagaimana dia untuk pertama kalinya tersentuh oleh kesempurnaan iman itu:
“Aku berjalan di atas duri, dan kulalui hari-hari dengan rasa lapar yang berkepanjangan. Terus-menerus kula kukan kesungguhan dalam beribadah. Tak henti-hentinya aku mencari rahasia hidup, sampai akhirnya rahasia itu menyentuh kalbuku. Aku begitu gembira. Kuusap wajahku menyambut keda tang annya. Kebahagiaan kursakan begitu kuatnya, sehingga membuat seluruh anggota badanku menggigil dan kaku. Dengan keadaan itu, semua keluargaku menyangka aku mati. Mereka membawa kan kain kafan untukku dan mengundang orang-orang untuk me mandikanku. Dengan kain kafan yang putih itu, serta-merta terlihat dalam pandanganku sebuah firman Tuhan yang agung:
“Maka sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesu litan itu ada kemudahan” (QS. Alam Na syrah : 5-6)
Aku membaca firman agung itu. Kemudian aku bangkit diantara rasa bingung dan linglung, tanpa sama sekali menya dari dan mempedulikan orang banyak yang mengelilingiku. Di hari itu aku merasa telah ditundukkan oleh sebuah beban yang berat. Andaikan beban tersebut diletakkan di sebuah gunung, pasti gunung tersebut akan terguncang olehnya. Beban tadi semakin bertambah, sampai pada saat aku merasa begitu berat nya, aku merebahkan tubuh sambil membaca ayat tersebut. Setelah itu aku angkat kepalaku. Dan tiba-tiba beban berat ter sebut telah hilang”.
Al Jailani telah memiliki iman dan ilham yang luar bia sa. Dia selalu percaya bahwa dibalik layar dunia yang serba gemerlap ini terdapat suatu hakekat yang tertutup. Dan sesu ngguhnya, dibelakang tanda-tanda dimana manusia berjalan dibe lakangnya terdapat suatu rahasia yang luhur. Manusia dicip takan oleh Allah secara sempurna, bahkan dengan kesempur naannya itu malaikat pernah diperintah untuk bersujud padanya. Manusia sesungguhnya lebih mulia dari malaikat. Manusia diberi wewe nang untuk menjadi seorang khalifah di bumi. Dan sebagai bahan pegangan, diturunkan kepada manusia sebuah kitab suci, yakni al Qur’an. Sayang, dengan kenyataan itu ban yak manusia yang tidak tahu atau mungkin juga tidak mau tahu. Banyak manusia yang menghinakan kemulyaannya sendiri. Banyak manusia yang mengotori dan menodai kesucian dirinya, sehingga mereka yang sebenarnya lebih mulia dari malaikat itupun kini telah menjadi hina yang kehinaannya melebihi setan dan hewan.
Dua puluh lima tahun sudah Al Jailani mengasingkan diri dari dunia. Selama itu dia selalu berupaya membersihkan ha tinya, mengokohkan jiwanya dan menyempurnkan imannya. Se lama dalam pengasingan, kehidupan asketis seorang sufi telah dia jalani dengan baik. Dan kini tiba saatnya dia kembali. Al Jailani kemudian kembali ke Baqdad, menyebarkan ilmu dan me nunjukkan cahya yang benar kepada manusia. Dia menyebar luas kan ilmu tasauf yang dipelajari, diamalkan dan diperolehnya selama pengasingan.
Kehadiran Abdul Qadir Al Jailani di Bagdad rupanya tidak bisa diterima begitu saja oleh keseluruhan masyarakat, ter utama oleh para ulama’ Bagdad sendiri. Mereka banyak yang menentang ajaran-ajaran sufi yang disampaikan oleh Al Jai lani. Terutama pada ajaran-ajaran tasauf Al Jailani yang dianggapnya musykil,asing dan sulit dita’wilkan. Hal ini bisa dimaklumi, sebab para ualama’ tersebut masih ber pegang pada otoritas ilmu fiqih yang cenderung tekstualis.
Sebagaimana ajaran tasauf secara umum, ajaran sufi yang disampaikan  Al Jailani, oleh kebanyakan ulama’ ahli fiqih bahkan dianggap sebagai ajaran yang menyimpang, sebab dinilai telah berbelok arah dari teks-teks yang ada dalam Al Qur’an. Ajaran ini dinilai terlalu “berani” dan terlalu jauh dalam menta’ wilkan Al Qur’an. Karena alasan inilah banyak ulam’ yang me nentang Al Jailani, bahkan ada yang menuduhnya sebagai pem bawa ajaran sesat. Namun Al Jailani tetap dalam pendiriannya, dia tetap akan menyebarkan dan mengajarkan ilmu hakikat ter sebut.
Pada saat Al Jailani kembali ke kota Bagdad, kota ini sebenarnya telah menjadi sebuah kota yang dijadikan sebagai ajang debat dan diskusi yang ramai antara orang-orang yang menjadikan ilmu sebagai ladang kerja dengan orang-orang yang menjadikan ilmu sebagai pendorong cinta dan ibadah. Pernah, suatu saat ulama’ ilmu kalam melontarkan kritik tajam kepada Al Jailani. Namun kritikan itu tidak berarti sama sekali sebab dalam perdebatan kemenangan ternyata berpihak pada Al Jai lani. Cahaya menjadi menjulang tinggi dan petunjuk pun menjadi jel as. Umat Islam seluruhnya serentak mulai memperhatikan dan memperhitungkannya. Bagdad telah dia kuasai, namun justru de ngan itu dia malah menjadi rendah diri. Dia lebih memilih untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah, dengan meng hadapi para khalifat dan umara’ yang bertindak dengan sewe nang-wenang. Banyak para pemimpin pun menjadi tunduk dan menaruh segan kepadanya.
Nama Abdul Qadir Al Jailani pada saat itu pun menjadi harum. Siapa yang tidak mengenali waliyullah satu ini. Namun ketenaran nama dan reputasi keududukannya tidak menyebabkan manusia yang sudah bersih hatinya dari dunia ini menjadi mabuk dan terlena. Al Jailani malah memilih hidup dengan mengisi sebagian besar waktunya untuk beribadah dan taqarrub kepada Allah, Sang Kekasihnya. Aktifitas ini dilakukannya sedari waktu maghrib hingga terkadang sampai fajar.
Sehubungan dengan aktifatsnya itu, konon, pernah su atu saat ada seorang Khalifah datang ingin menemuinya pada jam dimana Al jailani biasa bertaqarrub. Waktu itu dia tidak mau menemui sang Khalifah dan cukup dengan menjawab dari dalam mihrabnya, “Ini waktu untuk Allah. Tidak ada waktu un tuk menyia-nyiakan-Nya kecuali orang-orang yang berbudi ren dah!”.
Begitulah Al Jailani. Baginya hidup hanya untuk Allah dan bukan untuk yang lain. Dalam salah satu penuturannya, dia pernah mengatakan, “Janganlah kamu ingin masuk ke dalam golongan orang-orang yang sudah mencapai tingkat ma’rifat, kecuali apabila kamu telah bertekad bulat bahwa semua yang ada ini adalah sebuah berhala yang harus dijauhi. Jauhkan ang gota badanmu darinya. Menyendirilah dari wujud, pendengaran, peng lihatan, pukulan, usaha, amal dan dari akalmu. Karena se mua itu adalah merupakan hal-hal yang akan menipumu dari Tuhanmu. Jangan sekali-kali kamu melihat wujud selain Allah. Usahakan terus-menerus untuk memperhatikan batasan-batasan-Nya, menja ga perintah dan menjauhi larangan-Nya. Apabila engkau lengah terhadap batasan-batasan-Nya, ketahuilah bahwa engkau telah terfitnah dan Tuhan akan mempermainkanmu. Cepatlah engkau kembali kepada hukum syari’at dan tinggal kanlah hawa nafsu, sebab segala sesuatu yang tidak dibenarkan oleh syaria’at adalah suatu kebatilan!”.
Demikian sekilas perjalanan hidup Syaikh abdul Qadir Al Jailani, seorang waliyullah yang ditengarahi masih keturunan langsung dari Rasulallah. Sampai saat ini banyak kalangan kaum muslim yang senantiasa mengenangnya, baik dalam wujud kajian maupun dalam bentuk penghormatan. Banyak penulis sejarah menyebutkan bahwa, sepanjang hidupnya, Al jailani berada da lam cahaya pendidikan dan suci dari kotoran kehidupan. Telapak tangannya tak pernah menyentuh sesuatu yang haram. Matanya tertutup dari melihat berbagai macam syahwat kehi dupan dunia. Al Jailani wafat pada hari Jum’at, 11 Rabi’ul Akhir tahun 571 dalam usia sembilan puluh tahun. Beliau dimakamkan di Babul Aroj, kota Bagdad di negeri Iraq.
Dibagian akhir kitab Fathur Rabbani dijelaskan bahwa pada saat hari-hari menjelang wafat, yakni pada saat Al Jailani sedang sakit, anaknya, yaitu Abdul Wahab pernah diberi nasehat, “Tetaplah kamu taqwa dan taat kepada Allah. Janganlah kamu takut kepada siapapun dan jangan pula mengharapkannya. Serah kanlah semua kebutuhanmu kepada Allah dan carilah kepada-Nya. Janganlah engkau bergantung kepada sesuatu selain Dia. Tauhid!. Tauhid!. Pusat kesemuanya adalah tauhid!”.
Menjelang kewafatannya Al Jailani juga berwasiat kepa da putra-putranya, “Apabila kalbu sudah benar-benar bersama-Nya maka tidak ada rasa kesepian dalam hati. Menyingkirlah kalian dari sekitarmu, sebab secara lahir aku bersama kalian nam un secara batin tidak. Antara aku, kalian dan semua makhluk se sungguhnya ada jarak yang begitu jauh sejauh langit dan bumi. Maka janganlah kalian menyamakan aku dengan seseorang dan jangan pula kalian menyamakan seseorang denganku”.
Dalam kesempatan lain Al Jailani juga berwasiat, “Sela in kalian ada yang hadir dekat denganku. Di sinilah ada suatu rahmat yang begitu agung”.
Dua putra Al Jailani, yaitu Abdul Jabar dan Musa meng isahkan bagaimana keadaan bapaknya menjelang kewafatannya, terutama ketika saat sakaratul maut menjempunya.Menurutnya, pada saat itu Al Jailani berkata, “Aku meminta pertolongan kepada La Ilaha illallah, yang tidak akan mati dan tidak akan takut pada kematian. Maha suci Dzat yang agung dengan kekua saan yang mengalahkan semua makhluk-Nya dengan kematian. La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulallah”. Kemudian Al Jailani berkata “Agung” dengan lisan yang kabur. Al Jailani selalu mengucapkan kata-kata itu dan memanjangkannya sampai beliau mampu berkata dengan benar. Setelah itu Al Jailani berkata, “Allah, Allah, Allah”. Lalu suara beliau terdengar samar seper tinya lidah beliau kelu, menempel pada langit-langit mulut. Sete lah itu beliau lalu wafat.